Lalu lintas Jakarta begitu ramai. Kendaraan lalu lalang tanpa henti dengan kecepatan yang tidak terduga. Seorang kakek mengetuk etukan tongkatnya ke kerikil jalanan yang terhempas. Senja mulai turun ketika si kakek dengan termangu menatap kosong pada lampu lampu kerucut ibukota di seberang jalan. Tatapan kosong yang kupahami sebagai, aku tidak bisa menyeberang. Kugandeng tangannya tanpa kata, hanya sebuah isyarat lembut yang dibalas dengan ekspresi yang lebih hangat dari sekedar kopi di pagi hari.
.
Perlahan kuseberangi jalan ini, jalan yang sudah menggilas mimpi bapakku mencari sesuap nasi, jalan dimana kita menjadi lebih egois dari keegoisan itu sendiri. Dan si kakek berwajah lembut tetap menatap hangat, walaupun dimatanya dapat kulihat dia bergeming dengan klakson dan deru mesin orang orang yang tak sabar. Sungguh, mereka pikir ini jalan siapa? Kami yang membangunnya, pria berbadan legam dengan keriput sebagai kosmetik wajahnya, anak setengah baya putus sekolah, dan buruh impor dengan bayaran sepuluh ribu sehari.
.
Kakek itu tersenyum. Dia tersenyum sangat tulus dan menggenggam tanganku erat. Ucapan lirih terima kasih adalah obat penatnya hari. Betapa hatiku trenyuh melihat senyum seperti itu. Itulah senyum yang tidak kulihat, sebagaimana aku tak dapat melihat bintang di kota ini.
.
Kakek itu melangkah pergi. Punggungnya yang bungkuk sempat terekam. Dan aku melangkah juga, tepatnya berlari. Karena senja sudah sembunyi. Dan pelajaran hari ini adalah, senyuman tulus bagai bunga yang ditabur di sepanjang jalan. Meski hanya di pinggirnya, dan jika ditaburkan di sepanjang jalan kehidupan, maka wanginya akan membantuku bertahan. Bertahan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar