Bagian Mengharukan dari Buku "Kekuatan Tanpa Kekerasan" dai Cucu Mahatma Gandhi

Jumat, 07 Januari 2011





Dr. Arun Gandhi adalah cucu Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K.Gandhi
untuk Tanpa-Kekerasan.

Pada tanggal 9 Juni ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico dan
bercerita bagaimana memberikan contoh tanpa-kekerasan yang dapat diterapkan
di sebuah keluarga.

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di
sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu,
18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh
dipedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua
saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota
untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk
menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan
kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar
belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk
mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki
mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau
disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama." Segera
saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya.

Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua
permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam
menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan
terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir
pukul 18:00.

Dengan gelisah ayah menanyai saya, "Kenapa kau terlambat?"
Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne
sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus
menunggu."
Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel
mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata,
"Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki
keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum
kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki
sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."

Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai
berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan
sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka
selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang
beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan
yang bodoh yang saya lakukan.

Sejak itu saya tidak pernah akan berbohong lagi. Seringkali saya berpikir
mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya
sebagaimana kita menghukum anak-anak kita maka apakah saya akan mendapatkan
sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan
menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya
dengan satu tindakan tanpa-kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya
merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin.

Itulah kekuatan tanpa-kekerasan.

Sumber: Disadur dari 'The Power Of Nonviolence' oleh Dr. Arun Gandhi


Cara menghukum anak secara mental seperti inilah yang harusnya dimiliki oleh para orang tua sekarang. Tinggalkan hukuman hukuman fisik yang hanya akan meninggalkan luka yang mendalam yang lama lama akan membatu menjadi dendam. Seperti intisari dari khutbah Jum'at yang saya simak tadi bahwa kita tidak membutuhkan teguran, kita cuma butuh sebuah keteladanan. Bagaimana dia mau mengajarkan kita untuk tidak merokok sedangkan dia sendiri merokok?

Yang lebih parah, orang tua kadang malu atau enggan hanya untuk sekedar mengatakan kata "maaf" dan membiarkannya menjadi goresan-goresan luka yang membekas di hati. Atau mungkin kita sering beranggapan bahwa mereka akan melupakannya setelah beberapa hari. Kalau seandainya anda juga pernah melakukan hal yang sama seperti saya, tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf pada orang yang pernah anda kecewakan. Jangan malu untuk melakukan hal yang benar sekalipun itu anda lakukan untuk seorang bocah atau teman, karena mereka juga punya hati nurani. Dan seandainya mereka masih tersenyum padamu walaupun anda telah mengecewakan mereka anda harus bersyukur atas karunia itu. Semoga kita-kita semua memang tidak pernah lupa pada kata yang satu ini, 'MAAF".

Wahai orang tua dan calon orang tua, didiklah anakmu dengan benar!

0 comments:

Posting Komentar