Selamat pagi dan salam sejahtera.

Ini adalah hari ke sepuluh di bulan januari, artinya sudah 2 bulan 10 hari saya magang sebagai CPNS di Bagian Hukum Anggaran, Perimbangan Keuangan, Perbendaharaan, dan PNBP Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Suasananya masih adem ayem, bukan karena AC kantor yang memang sangat dingin tetapi karena pekerjaan saya tergolong stagnan. Stagnan nya berhenti di titik sibuk. It means, tiap hari saya sibuk.

Sedikit membuka kaleidoskop 2010 sehabis saya wisuda Diploma III Kebendaharaan Negara, ekspektasi pekerjaan sudah menggunung di depan mata. Darah muda yang bergejolak ditambah rasa ingin menunjukkan sebuah pengabdian sebagaimana slogan kami "Nagara Dana Rakca" yang artinya punggawa keuangan negara.



Ilmu keuangan yang sudah di dapat selama 3 tahun sudah menunggu untuk dikeluarkan layaknya gunung yang tengah mengalami erupsi. Namun semua ekspektasi sepertinya harus dikesampingkan. Pada pengumuman penempatan saya ditempatkan di Sekretariat Jenderal, Biro Hukum. Di Biro ini semuanya adalah ahli ahli hukum yang sudah pasti berpengalaman. Kira kira bisa pembaca bayangkan bagaimana nasib seorang lulusan Diploma III Bidang Perbendaharaan dihadapkan dengan foreign environment yang berbeda 180 derajat. Yap, welcome to the jungle! Apalagi harus menghadapi kenyataan bahwa kemungkinan saya tidak bisa melanjutkan pendidikan keuangan karena prioritas untuk ekstensi sarjana adalah mengambil sarjana hukum. Mungkinkah saatnya berkata pisah dengan sarjana ekonomi (yang saya impi impikan sedari kecil)?

Minggu pertama merupakan minggu yang sangat sulit. Dalam keputusasaan fase ini dinamakan fase penyesalan/pembantahan/penyangkalan terhadap takdir. Saya masih tetap tidak percaya seorang diploma ekonomi 'nyasar' di hukum. Dalam fase penyangkalan hari hari terasa sangat berat. Rasa syukur terkikis dengan perasaan penyesalan yang mendalam. Bayangan pekerjaan yang asing, kuliah yang nantinya harus dimulai dari awal. Semuanya berkunang kunang membentuk rasi bintang keputusasaan.

Namun saya berpikir, apalah artinya saya tenggelam dalam penyesalan terhadap nasib? Kalau saya percaya semua ada hikmahnya harusnya saya bisa menerima. Bahwa tidak ada satupun daun yang jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan. Tidak ada satu fase hidup yang tidak dikendalikan Tuhan. Baiklah, saya akan mengikuti kehendak-Nya, The Master of Marionette. Saya akan mengalir seperti air, air sungai yang melewati batu batuan, bukan air danau yang konstan. Oke, It's time to move on.



Tidak ada lagi hari hari yang disesali. Saya mencoba mencari hal hal yang positif dari pekerjaan yang akan saya jalani. Saya membandingkannya dengan orang lain yang tidak punya pekerjaan sama sekali.
Saya membandingkannya dengan jembel jembel di stasiun senen yang saya temui.
Saya membandingkannya dengan pekerjaan ayah saya dulu, seorang sarjana berprestasi namun harus terlunta lunta sebagai pekerja kasar yang pekerjaannya sebagai penyeruk truk.
saya membandingkannya dengan pengemis yang saya temui di masjid masjid.
Mereka tidak hina, mereka hanya kurang beruntung.
dan saya lebih beruntung, jauh lebih beruntung.

Dan saya sadar. Terlalu banyak yang masih bisa saya syukuri. Bukan mendiskreditkan orang yang saya sebutkan tadi. Tapi dalam konteks ini, manusia harus melihat ke bawah agar dia ingat bahwa ada kekuatan tak terlihat di Atas sana. Ada causa prima yang menyebabkan ini semua.

Fase ini disebut fase penerimaan. dan masih berlangsung sampai sekarang. Entah sampai kapan saya bisa meloncat ke fase berikutnya yaitu fase aktualisasi diri. Saya masih mergulat dengan logika saya yang kadang masih memunculkan perasaan sesal semu.
Dalam fase penerimaan ini saya mencoba menggali makna apa yang bisa saya lakukan sekarang. Saya mulai menyadari apapun pekerjaan itu, asalkan dijalani dengan ikhlas semuanya akan berjalan dengan baik.

Kerja ikhlas
Kerja cerdas
kerja tangkas

Pekerjaan itu adalah sebuah kehormatan. Layaknya jabatan, pekerjaan juga diperebutkan. Oya, ngomong ngomong masalah kehormatan saya punya satu cerita yang saya dapat dari situs motivasi favorit saya heartnsouls, judulnya "Anak Penjual Kue"

This is the story:

Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak, mau beli kue, Pak?"

Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan".

Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak dik, saya sudah kenyang".

Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah".

Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini. Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan.

"Pak mau beli kue saya?"

Pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp. 1.500,00 dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.

"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".

Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasih kepada orang lain.

"Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?"

Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu dirumah ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang kerumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".




Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja dihadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang, dan suatu pantangan bagi ibunya, anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang kerumah ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.

Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan" ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.




Cerita di atas bisa menyadarkan kita tentang arti pentingnya kerja. Bukan sekadar untuk uang semata... Jangan sampai mata kita menjadi "hijau" karena uang sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya kebanggaan profesi yang kita miliki. Sekecil apapun profesi itu, kalo kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, pastilah akan berarti besar...


Wiji Raharjo, 10 Januari 2011

0 comments:

Posting Komentar