Kepada Cakrawala

Senin, 16 November 2009

Cakrawala aku ingin bercerita. Tentang sekelumit kisah yang dibawa merpati berkelana. Membubung mengitari kaki langit. Menapak tangga menuju Firdaus-Nya.
Netra kanan ini buta wahai senja. Hingga kuhanya dapat menikmati indahmu dengan sebuah bola mata saja. Tapi aku takkan tenggelam, oleh cacian mereka yang kejam. Apakah aku berbeda?Seperti Luqman, Tuhan telah melukisku dengan sempurna. Adakah yang salah dengan Pelukisnya, ataukah lukisan-Nya.

Cakrawala aku cemburu. Dengan pesonamu yang tiada tara. Mereka mengagumimu, memujimu. Tapi kenapa tidak padaku? Kita sama-sama dilukis-Nya. Mengapa manusia lena. Jera aku menguntai asa, kepada mereka yang bedakan kita. Menemani saat ada, dan hilang saat tiada. Senyap merayap pelan. Bersamamu, cakrawala, kuuntai rasa tanpa tujuan. Hening duduk merenung. Disampingku ragu. Remuk redam bagai batu. Cakrawala, aku terhunus sepi. Disini tanpa daya.Layaknya raga tanpa nyawa. Sukma lara tiada terkira. Mengapa bayangmu tersamar? Mengapa kalian menghindar?

Padahal hanya kalian teman-teman. Yang mampu pantik lentera hati ini. Biar terang datang selimuti. Tanpa kalian, nyala itu telah padam. Tinggal seonggok arang hitam.
Aku tak mau menyesali. Tangan nasib telah menulis halus. Aku berjalan di putaran waktu ini sendirian. Menyanyikan senandung lara hati yang tak pernah kau sadari. Karna, cinta ini terlalu berbeda kasta. Biarlah kukubur bersama jasadku nanti

Sekarang, waktu berjalan begitu pelan. Atau aku yang terlalu cepat berubah. Tak ada lagi keluh kesah. Atau cucuran deras air mata. Hanya menatap mega. Mari bergandeng tangan. Bantu aku wahai teman, melukis awan di langit biru, dan menghias cakrawala. Beriringan bagai pasukan kedamaian. Pun tak ada yang membantu, membatu, membisu, membuta, apatis, skeptis. Aku akan tetap menulis takdirku sendiri. Walau dengan pena bertinta darah.
Demikian cakrawala, cerita yang tiada artinya. Bila dibanding curahan cahaya dari Tuhan kita. Yang kadang kita alpa berterima kasih. Semoga kali lain, aku dan kau bisa kembali bercengkrama, dengan melodi dan simfoni berbeda. Tapi yakinlah, rasa ini tetap sama. Hingga akhir masa.

This is my true story. Dedicated to all my friends in the world.
Hanya cinta bahasa yang menyatukan si buta, si tuli, dan si bisu.

0 comments:

Posting Komentar