Untuk Malaikat Bernama Ibu

Kamis, 27 Mei 2010

Untuk Malaikat Bernama Ibu


Hujan turun sejak dini hari
Menyembunyikan cakrawala yang kelam
Dan konstelasi bintang yang membentuk visualisasi harmoni

Embun mengalir di dedaunan filicium
Menunggu momen menumpahkan kasih-NYA ke penjuru bumi
Ditelan gravitasi
Kembali mengalir di artesis-artesis yang dalam

Perumpamaan
Kasih ibu yang mengalir setiap waktu
Meresap lewat relung dan celah hatiku
Kasih yang begitu dalam
Hingga perlu perenungan ekstra, untuk menggali makna yang terkubur di pasir waktu

Ya, waktu
Menambah keriput di wajah ibu
Kerut-kerut perjuangan hidup tanpa pamrih
Ya, waktu merubah segalanya
Kecuali kasih ibu
Yang tak lekang mesti dihempas takdir ke titik nadir

Sudah pagi
Matahari berpijar wajar
Sinar terang di lingkaran lazuardi
Mengkombinasikan simfoni yang tiada dua

Hei, ibuku seperti matahari!

(Puisi di atas adalah puisi yang kutulis tepat di hari ulang tahun ibuku, beberapa waktu yang lalu. Aku sangat ingat waktu itu dini hari dan aku terbangun, dengan perasaan mengganjal yang sangat besar, perasaan yang tidak bisa dicari sebabnya. Dan dengan sembab, aku mengingat semua perjuangannya, membesarkanku)

1 comments:

1

mengatakan...

wiji, puisinya bagus banget... :'(

Ya, waktu merubah segalanya
Kecuali kasih ibu
Yang tak lekang mesti dihempas takdir ke titik nadir

icha kangen mama, kangen memeluknya, sangat...

Posting Komentar